Politik Kolonial Liberal

0

Pada tahun 1830 penguasa kolonial Belanda menetapkan berlakunya sistem tanam paksa (Culturstelsel). Berdasarkan ketetapan tersebt Belanda memaksa petani pribumi ntuk mananam komoditi ekspor seperti kopi dan gula dan menyerahkan sebagian hasil produksinya kepada pemerintah kolonial. Untuk melaksanakan pengumpulan hasil-hasil tanaman itu Belanda menugaskan para bupati. Sistem tanam paksa ini terutama di Jawa menimbulkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di lingkungan aparatur pemerintah jajahan. Culturstelsel mendapat kecaman keras, baik di Belanda maupun di kalangan orang-orang Belanda di Indonesia, sehingga akhirnya dicabut. Mulai tahun 1870 berlaku masa liberalisme, yang berarti campur tangan pemerintah kolonial dalam kegiatan produksi dikurangi sedang peranan kaum kapitalis ditingkatkan (Tribuana Said, 1988 : 13-14).

Tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil revolusi industri selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud dalam perkembangan industri, per-kapalan, perkebunan, dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesatnya, sedang per-kembangan modal terjadi secara besar-besaran (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 22). Tahun 1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik di dalam sejarah politik kolonial Belanda. Alasannya adalah Undang-Undang Agraria yang disahkan dan mulai berlaku pada tahun itu. Pengambilalihan tanah penduduk pribumi dilarang. Orang-orang asing diperbolehkan menyewa tanah pertanian dalam jangka yang lama atau banyak menyebutnya sebagai sistem sewa tanah.

Teranglah bahwa liberalisme memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan perkebunan yang dahulunya diurus oleh pemerintah kolonial, dan cara mengurusnya  seperti sedia kala, perbedaannya kalau dahulu hanya pemegang saham tungal, berubah menjadi banyak. Pada perkembangannya perusahan swasta tersebut memperlihatkan lebih menekan jika di-bandingkan dengan pemerintah (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 23).

Politik liberal yang menggejala dalam tiga dasawarsa terakhir abad 19 belum membawa pengaruh perbaikan barang sedikit terhadap taraf hidup pribumi. Justru pengejaran untung oleh para pengusaha Eropa itu menyebabkan perekonomian pribumi porak-poranda. Usaha setengah hati pemerintah kolonial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat jauh tertinggal dari cepatnya perkembangan pendududuk. Namun lama-kelamaan para pengusaha swasta menyadari kenyataan, bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menggembirakan (Akira Nagazumi, 989 : 27).

Politik liberalisasi juga berarti mengucilkan kedudukan para bupati, setelah Belanda sebelumnya mengekang peranan politik para raja. Bersamaan dengan itu penguasa kolonial membuka berbagai sekolah kejuruan di Jawa bagi sejumlah terbatas pemuda dari keluarga elite pribumi. Para intelektual pribumi yang masuk ke sekolah-sekolah kejuruan itu, ditambah tokoh-tokoh intelektual agama (terutama golongan Islam), pada gilirannya merupakan kader-kader pemimpin bangsa (Tribuana Said, 1988 : 14).

Sumber: Andriyanto. 2019. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia 1908-1945. Klaten: Penerbit Lakeisha.

Leave A Reply

Your email address will not be published.